Ilmu dan Teknologi Daging
Rabu, 08 Oktober 2008
Tinjauan Pustaka
Warna Daging
Banyak faktor yang mempengaruhi warna daging, termasuk pakan, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, tingkat aktivitas dan tipe otot, PH dan oksigen. Faktor-faktor ini dapat mempengaruhi penentu utama warna daging,yaitu konsentrasi pigmen daging mioglobin.
Tipe molekol mioglobin, status kima mioglobin dan kondisi kimai serta fisik komponen lain dalam daging mempunyai peranan besar dalam menentukan warna daging.perbedaan warna permukaan daging, terutama disebabkan oleh status kimia molekul mioglobin. Bentuk kimia warna daging segar yang diinginkan oleh kebanyakan konsumen adalah merah terang oksimioglobin. Proporsi relatif dan distribusi ketiga pigmen daging, yaitun mioglobin reduksi ungu, oksimioglobin merah terang, dan metmioglobin coklat, akan menentukan intensitas warna daging.
Mioglobin mengalami perubahan perubahan pada potongan daging yang berwarna gelap, misalnya pada daging sapi berwarna merah gelap (DCB). Daging semacam ini mempunyai pH postmortem yang tinggi dengan daya ikat air yang pula dan tekstur yang lekat.(soeparno, 2005)
Daya Ikat Air Daging
Daya ikat air oleh protein daging atau water holding capacity atau water bonding capacity (WHC atau WBC) adalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan daging, emanasan, penggilingan, dan tekanan (Soeparno, 2005).
Menurut Soeparno (2005) bahwa, daya ikat air oleh protein daging (DIA) dapat ditentukan dengan beberapa cara, antara lain metode Hamm (1972), yaitu dengan membebani atau mengepres 0,3 g sampel daging dengan beban 35 kg pada suatu kertas saring diantara dua plat kaca selama 5 menit. Area yang tertutup sampel daging yang telah menjadi pipih, dan luas area basah di sekelilingnya pada kertas saring beserta sampel daging ditandai dan setelah pengepresan selesai, dapat diukur (misalnya digambar pada kertas grafik). Area basah diperoleh dengan mengurangkan area yang tertutup daging dari area total yang meliputi pula area basah pada kertas saring. Kandungan air daging dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Mg H2O = area basah (cm2) - 8,0 (Soeparno, 2005)
0,0948
Penurunan DIA dapat diketahui dengan adanya eksudasi cairan yang disebut weep pada daging mentah yang belum dibekukan atau drip pada daging mentah beku yang disegarkan kembali atau kerut pada daging masak. Eksudasi berasal dari cairan dan lemak daging (Soeparno, 2005)
DIA dipengaruhi oleh pH. DIA menurun dari pH tinggi sekitar 7-10 sampai pada pH titik isoelektrik protein-protein daging antara 5,0-5,1. Pada pH ini protein daging tidak bermuatan (jumlah muatan positif sama dengan jumlah muatan negatif) dan solubilitasnya minimal. Pada pH yang lebih tinggi dari pH isoelektrik protein daging, sejumlah muatan positif dibebaskan dan terdapat surplus muatan negatif yang mengakibatkan penolakan dari miofilamen dan memberi lebih banyak ruang untuk molekul air (Soeparno, 2005).
Periode pembentukan asam laktat yang menyebabkan penurunan pH otot postmortem, menurunkan DIA daging dan banyak air yang berasosiasi dengan protein otot akan bebas meninggalkan serabut otot. Penurunan pH yang cepat, misalnya karena pemecahan ATP yang cepat, akan meningkatkan kontraksi aktomiosin dan menurunkan DIA protein (Soeparno, 2005).
Pelayuan meningkatkan DIA daging pada berbagai macam pH karena perubahan hubungan air-protein, yaitu peningkatan muatan melalui absorpsi ion K+ dan pembebasan Ca++, atau melemahnya miofibril karena perubahan struktur jalur Z dan ban I. Sebaliknya, penyimpanan terlalu lama akan menurunkan DIA dan terjadinya perubahan struktur protein daging. Pemasakan menyebabkan perubahan DIA karena adanya solubilitas protein daging. Temperatur tinggi meningkatkan denaturasi protein dan menurunkan DIA (Soeparno, 2005).
Di samping faktor pH, pelayuan dan pemasakan atau pemanasan, DIA daging juga dipengaruhi oleh faktor yang menyebabkan perbedaan DIA diantara otot, misalnya spesies, umur dan fungsi otot, serta pakan, transportasi, temperatur, kelembaban, penyimpanan dan preservasi, jenis kelamin, kesehatan, perlakuan sebelum pemotongan dan lemak intramuskular. Perbedaan DIA disebabkan oleh perbedaan jumlah asam laktat yang dihasilkan, sehingga pH diantara dan di dalam otot berbeda (Soeparno, 2005).
pH Daging
Nilai pH digunakan untuk menunjukkan tingkat keasaman dan kebasaan suatu substansi. Jaringan otot hewan pada saat hidup mempunyai nilai pH sekitar 5,1 sampai 7,2 dan menurun setelah pemotongan karena mengalami glikolisis dan dihasilkan asam laktat yang akan mempengaruhi pH. pH ultimat daging tercapai setelah glikolisis otot menjadi habis atau setelah enzim-enzim glikolitik menjadi tidak aktif pada pH rendah atau glikogen tidak lagi sensitif terhadap serangan-serangan enzim glikolitik. pH ultimat normal daging postmortem adalah sekitar 5,5 yang sesuai dengan titik isoelektrik sebagian besar protein daging termasuk protein miofibril (Lawrie, 1995).
Temperatur lingkungan (penyimpanan) mempunyai hubungan yang erat dengan penurunan pH karkas postmortem. Temperatur tinggi pada dasarnya meningkatkan laju penurunan pH, sedangkan temperatur rendah menghambat laju penurunan pH (Soeparno, 1998).
Nilai pH juga berpengaruh terhadap keempukan daging. Daging dengan pH tinggi mempunyai keempukan yang lebih tinggi daripada daging dengan pH rendah. Kealotan atau keempukan serabut otot pada kisaran pH 5,4 sampai 6,0 lebih banyak ditentukan oleh status kontraksi serabut otot dari pada oleh status fisik serabut otot (Bouton et al, 1986).
Susut Masak Daging
Pada temperatur pemasakan 80oC, daging yang mengalami pemenedekan dingin pada pH normal 5,4-5,8 menghasilkan susut masak yang lebih besar daripada susut masak daging regang dengan panjang serabut yang sama. Pemasakan pada temperatur 90oC juga dapat menghasilakn susut masak otot (misalnya ST steer) pendek dingin yang lebih besar daripada otot regang.
Susut masak menurun secara linear dengan bertambahnya umur tenak. Misalnya pada sapi, susut mask otot SM yang dimasak pada temperatur 80o C selama 90 menit, menurun dengan meingkatnya umur.
Konsumsi pakan dapat mempengaruhi besarnya susut masak. Misalnya susut otot LD domba yang diberi pakan maintenans (imbangan energi nol) dan submaintenans (imbangan energi negatif) adalah lebih kecil daripada otot LD domba yang diberi pakan dengan imbangan energi poitif.
Keempukan Daging
Bagi konsumen, daging dari berbagai spesies dan bangsa ternak mempunyai akseptansi yang berbeda. Di antara individu konsumen, nilai akseptansi daging juga berbeda, tergantung pada faktor fisiologis dan sensasi organoleptik. Salah satu faktor yang ikut menentukan kelezatan dan daya terima daging adalah tekstur dan keempukan. Keempukan bervariasi di antara spesies, bangsa, ternak dalam spesies yang sama, potongan karkas, dan di antara otot, serta pada otot yang sama (Soeparno, 2005).
Keempukan dan tekstur daging merupakan penentu paling penting pada kualitas daging. Keempukan daging ditentukan oleh tiga komponen daging, yaitu struktur miofibrilar dan status kontraksinya, kandungan jaringan ikat dan tingkat ikatan silangnya, dan daya ikat air oleh protein daging serta jus daging (Bouton et al., 1971).
Pada prinsipnya keempukan daging dapat ditentukan secara subjektif dan objektif. Penentuan keempukan dengan metode subjektif dilakukan dengan cara struktur atau non struktur dan uji panel cita rasa atau panel taste. Pengujian secara objektif dapat dilakukan secara mekanik dengan uji daya putus Warner-Bratzler (Amerine et al., 1965).
Nilai daya putus Warner-Bratzler menunjukkan tingkat keempukan daging. Proses pelayuan akan menurunkan daya putus Warner-Bratzler, sehingga dapat meningkatkan keempukan daging. Pengaruh pelayuan dan peregangan otot terhadap daya putus Warner-Bratzler menjadi lebih besar setelah pemasakan (Bouton and Harris, 1972).
Papain, bromelin dari nanas dan fisin dari tanaman fig menghasilkan perubahan keempukan awal dan residu serabut-serabut jaringan ikat, sedangkan proteolitik fungal dan bacterial hanya mempengaruhi keempukan awal terhadap protein-protein serabut otot (Bratzler, 1971).
Hasil dan Pembahasan
Warna Daging
Daya Ikat Air Daging
Tabel Kadar Air Daging
Sampel Kadar air bebas Kadar air total
Luas area basah Mg H2O Kadar air bebas Berat sebelum dioven Berat setelah dioven Kadar air total % DIA
0,3 gr 18,5 cm2 187,15 62,38% 1,5 gr 0,7 gr 80% 17,62%
Sampel daging seberat 0,3 gram diletakkan diantara dua plt kaca, dialasi dengan kertas saring dan diberi beban 35 kg selama 5 menit. Luas area basah yang terbentuk adalah 18,5 cm2. Dengan menggunakan rumus, didapatkan mg H2O yaitu
Mg H2O = area basah (cm2) - 8,0
0,0948
= 18,5 - 8,0
0,0948
= 195,15 – 8,0
= 187,15
Kadar air bebas = mg H2O x 100%
300
= 187,15 x 100%
300
= 62,38%
KAT = x –y x 100%
1 gram
= 1,5-0,7 x 100%
1 gram
= 80%
% DIA = KAT – KAB
= 80%-62,38% = 17,62%
DIA daging dipengaruhi oleh faktor pH, pelayuan dan pemasakan atau pemanasan,yang menyebabkan perbedaan DIA diantara otot, misalnya spesies, umur dan fungsi otot, serta pakan, transportasi, temperatur, kelembaban, penyimpanan dan preservasi, jenis kelamin, kesehatan, perlakuan sebelum pemotongan dan lemak intramuskular. Perbedaan DIA disebabkan oleh perbedaan jumlah asam laktat yang dihasilkan, sehingga pH diantara dan di dalam otot berbeda.
pH Daging
Daging pada bagian LD seberat 10 gram dicacah kemudian ditambahkan 10ml aquades dan diaduk homogen. pH daging diukur dengan menggunakan pH meter dan dilakukan sebanyak tiga kali kemudian hasilnya dirata-rata. Dari percobaan diperoleh hasil pada pengukuran yang pertama didapatkan pH 5,90. Pengukuran yang kedua diperoleh 5,90 dan yang ketiga adalah 5,92. Dari ketiga hasil yang diperoleh dapat diambil rata-rata pH daging pada pengukuran ini adalah 5,91. Perbandingan data pengukuran pH daging pada kelompok lain yaitu pada pengukuran pertama diperoleh pH 5,92, kedua 5,92 dan yang ketiga 5,92 sehingga dapat diambil rata-rata 5,92. pH daging yang didapat adalah 5,91, hal ini berada pada kisaran normal pH daging. Menurut Bouton et al (1986) variasi pH ultimat secara merata dan teratur untuk otot LD, SM, BF, A, ST, PM, dan DP adalah 5,5 sampai 7,2.
Susut Masak Daging
Keempukan Daging
sampel keempukan
I II III rata-rata
11,6 8,1 21 19,6 16,23
Uji keempukan daging menggunakan sampel daging dari uji susut masak. Sampel dipotong searah serat dengan ukuran tebal 0,67 cm dan lebar 1,5 cm. Pengukuran sampel dilakukan dengan mengunakan jangka sorong. Sampel yang telah dipotong diletakkan pada alat Warner-Bratzler shear force untuk diuji tingkat keempukannya. Peletakan sampel pada alat Warner-Bratzler shear force harus tegak lurus dengan arah serat. Pengujian dilakukan terhadap beberapa sub sampel di tiga bagian yang berbeda kemudian hasilnya di rata-rata.
Pada pengujian terhadap sub sampel pertama skala yang terbaca adalah 8,1 kemudian pada pengujian kedua diperoleh skala 21, dan pada pengujian ketiga skala yang terbaca adalah 19,6. Dari ketiga pengujian yang dilakukan terdapat perbedaan yang mencolok antara pengujian pertama dengan dua pengujian selanjutnya. Hal ini disebabkan karena pada pengujian pertama letak sampel pada alat Warner-Bratzler shear force tidak tegak lurus dengan arah serat.
Angka yang terbaca pada alat Warner-Bratzler shear force merupakan nilai daya putus Warner-Bratzler (WB). Pada pengujian ini diperoleh hasil rata-rata nilai daya putus Warner-Bratzler (WB) 16,23. Sampel yang digunakan telah mengalami proses pemasakan sehingga mempengaruhi keempukannya. Pengaruh pelayuan dan peregangan otot terhadap daya putus Warner-Bratzler menjadi lebih besar setelah pemasakan (Bouton and Harris, 1972). Selain itu keempukan juga bervariasi di antara spesies, bangsa, ternak dalam spesies yang sama, potongan karkas, dan di antara otot, serta pada otot yang sama (Soeparno, 2005).
Kesimpulan
Setelah melakukan uji keempukan dengan alat Warner-Bratzler shear force diperoleh rata-rata nilai daya putus Warner-Bratzler (WB) adalah 16,23. Dari praktikum ini juga diketahui bahwa lama proses pemasakan akan mempengaruhi nilai daya putus Warner-Bratzler (WB).
Daftar Pustaka
Amerine, M.A., R.M. Pangborn, dan E.B. Roessler. 1965. Principles of Sensory Evaluation of Food. Academic Press. New York
Bouton, P.E., P.V. Harris, dan W.R. Shorthose. 1971. Jurnal of Food Science. Hal.435
Bouton, P.E., P.V. Harris and W.R. Shorthose. 1986. Factor Influencing Cooking Losses from Meat. J.Food Scl.
Bouton, P.E. dan P.V. Harris.1972. Jurnal of Food Science. Hal.140, 218.
Bratzler, L.J.1971. The Science of Meat and Meat Products 2nd Edition. W.H. Freeman and Co. San Fransisco
Lawrie, R. A. 1995. Ilmu Daging. Edisi ke-5. Terjemahan Aminudin Parakasi. UI press. Jakarta.
Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan ke-3. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging Cetakan Keempat. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Lampiran
Banyak faktor yang mempengaruhi warna daging, termasuk pakan, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, tingkat aktivitas dan tipe otot, PH dan oksigen. Faktor-faktor ini dapat mempengaruhi penentu utama warna daging,yaitu konsentrasi pigmen daging mioglobin.
Tipe molekol mioglobin, status kima mioglobin dan kondisi kimai serta fisik komponen lain dalam daging mempunyai peranan besar dalam menentukan warna daging.perbedaan warna permukaan daging, terutama disebabkan oleh status kimia molekul mioglobin. Bentuk kimia warna daging segar yang diinginkan oleh kebanyakan konsumen adalah merah terang oksimioglobin. Proporsi relatif dan distribusi ketiga pigmen daging, yaitun mioglobin reduksi ungu, oksimioglobin merah terang, dan metmioglobin coklat, akan menentukan intensitas warna daging.
Mioglobin mengalami perubahan perubahan pada potongan daging yang berwarna gelap, misalnya pada daging sapi berwarna merah gelap (DCB). Daging semacam ini mempunyai pH postmortem yang tinggi dengan daya ikat air yang pula dan tekstur yang lekat.(soeparno, 2005)
Daya Ikat Air Daging
Daya ikat air oleh protein daging atau water holding capacity atau water bonding capacity (WHC atau WBC) adalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan daging, emanasan, penggilingan, dan tekanan (Soeparno, 2005).
Menurut Soeparno (2005) bahwa, daya ikat air oleh protein daging (DIA) dapat ditentukan dengan beberapa cara, antara lain metode Hamm (1972), yaitu dengan membebani atau mengepres 0,3 g sampel daging dengan beban 35 kg pada suatu kertas saring diantara dua plat kaca selama 5 menit. Area yang tertutup sampel daging yang telah menjadi pipih, dan luas area basah di sekelilingnya pada kertas saring beserta sampel daging ditandai dan setelah pengepresan selesai, dapat diukur (misalnya digambar pada kertas grafik). Area basah diperoleh dengan mengurangkan area yang tertutup daging dari area total yang meliputi pula area basah pada kertas saring. Kandungan air daging dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Mg H2O = area basah (cm2) - 8,0 (Soeparno, 2005)
0,0948
Penurunan DIA dapat diketahui dengan adanya eksudasi cairan yang disebut weep pada daging mentah yang belum dibekukan atau drip pada daging mentah beku yang disegarkan kembali atau kerut pada daging masak. Eksudasi berasal dari cairan dan lemak daging (Soeparno, 2005)
DIA dipengaruhi oleh pH. DIA menurun dari pH tinggi sekitar 7-10 sampai pada pH titik isoelektrik protein-protein daging antara 5,0-5,1. Pada pH ini protein daging tidak bermuatan (jumlah muatan positif sama dengan jumlah muatan negatif) dan solubilitasnya minimal. Pada pH yang lebih tinggi dari pH isoelektrik protein daging, sejumlah muatan positif dibebaskan dan terdapat surplus muatan negatif yang mengakibatkan penolakan dari miofilamen dan memberi lebih banyak ruang untuk molekul air (Soeparno, 2005).
Periode pembentukan asam laktat yang menyebabkan penurunan pH otot postmortem, menurunkan DIA daging dan banyak air yang berasosiasi dengan protein otot akan bebas meninggalkan serabut otot. Penurunan pH yang cepat, misalnya karena pemecahan ATP yang cepat, akan meningkatkan kontraksi aktomiosin dan menurunkan DIA protein (Soeparno, 2005).
Pelayuan meningkatkan DIA daging pada berbagai macam pH karena perubahan hubungan air-protein, yaitu peningkatan muatan melalui absorpsi ion K+ dan pembebasan Ca++, atau melemahnya miofibril karena perubahan struktur jalur Z dan ban I. Sebaliknya, penyimpanan terlalu lama akan menurunkan DIA dan terjadinya perubahan struktur protein daging. Pemasakan menyebabkan perubahan DIA karena adanya solubilitas protein daging. Temperatur tinggi meningkatkan denaturasi protein dan menurunkan DIA (Soeparno, 2005).
Di samping faktor pH, pelayuan dan pemasakan atau pemanasan, DIA daging juga dipengaruhi oleh faktor yang menyebabkan perbedaan DIA diantara otot, misalnya spesies, umur dan fungsi otot, serta pakan, transportasi, temperatur, kelembaban, penyimpanan dan preservasi, jenis kelamin, kesehatan, perlakuan sebelum pemotongan dan lemak intramuskular. Perbedaan DIA disebabkan oleh perbedaan jumlah asam laktat yang dihasilkan, sehingga pH diantara dan di dalam otot berbeda (Soeparno, 2005).
pH Daging
Nilai pH digunakan untuk menunjukkan tingkat keasaman dan kebasaan suatu substansi. Jaringan otot hewan pada saat hidup mempunyai nilai pH sekitar 5,1 sampai 7,2 dan menurun setelah pemotongan karena mengalami glikolisis dan dihasilkan asam laktat yang akan mempengaruhi pH. pH ultimat daging tercapai setelah glikolisis otot menjadi habis atau setelah enzim-enzim glikolitik menjadi tidak aktif pada pH rendah atau glikogen tidak lagi sensitif terhadap serangan-serangan enzim glikolitik. pH ultimat normal daging postmortem adalah sekitar 5,5 yang sesuai dengan titik isoelektrik sebagian besar protein daging termasuk protein miofibril (Lawrie, 1995).
Temperatur lingkungan (penyimpanan) mempunyai hubungan yang erat dengan penurunan pH karkas postmortem. Temperatur tinggi pada dasarnya meningkatkan laju penurunan pH, sedangkan temperatur rendah menghambat laju penurunan pH (Soeparno, 1998).
Nilai pH juga berpengaruh terhadap keempukan daging. Daging dengan pH tinggi mempunyai keempukan yang lebih tinggi daripada daging dengan pH rendah. Kealotan atau keempukan serabut otot pada kisaran pH 5,4 sampai 6,0 lebih banyak ditentukan oleh status kontraksi serabut otot dari pada oleh status fisik serabut otot (Bouton et al, 1986).
Susut Masak Daging
Pada temperatur pemasakan 80oC, daging yang mengalami pemenedekan dingin pada pH normal 5,4-5,8 menghasilkan susut masak yang lebih besar daripada susut masak daging regang dengan panjang serabut yang sama. Pemasakan pada temperatur 90oC juga dapat menghasilakn susut masak otot (misalnya ST steer) pendek dingin yang lebih besar daripada otot regang.
Susut masak menurun secara linear dengan bertambahnya umur tenak. Misalnya pada sapi, susut mask otot SM yang dimasak pada temperatur 80o C selama 90 menit, menurun dengan meingkatnya umur.
Konsumsi pakan dapat mempengaruhi besarnya susut masak. Misalnya susut otot LD domba yang diberi pakan maintenans (imbangan energi nol) dan submaintenans (imbangan energi negatif) adalah lebih kecil daripada otot LD domba yang diberi pakan dengan imbangan energi poitif.
Keempukan Daging
Bagi konsumen, daging dari berbagai spesies dan bangsa ternak mempunyai akseptansi yang berbeda. Di antara individu konsumen, nilai akseptansi daging juga berbeda, tergantung pada faktor fisiologis dan sensasi organoleptik. Salah satu faktor yang ikut menentukan kelezatan dan daya terima daging adalah tekstur dan keempukan. Keempukan bervariasi di antara spesies, bangsa, ternak dalam spesies yang sama, potongan karkas, dan di antara otot, serta pada otot yang sama (Soeparno, 2005).
Keempukan dan tekstur daging merupakan penentu paling penting pada kualitas daging. Keempukan daging ditentukan oleh tiga komponen daging, yaitu struktur miofibrilar dan status kontraksinya, kandungan jaringan ikat dan tingkat ikatan silangnya, dan daya ikat air oleh protein daging serta jus daging (Bouton et al., 1971).
Pada prinsipnya keempukan daging dapat ditentukan secara subjektif dan objektif. Penentuan keempukan dengan metode subjektif dilakukan dengan cara struktur atau non struktur dan uji panel cita rasa atau panel taste. Pengujian secara objektif dapat dilakukan secara mekanik dengan uji daya putus Warner-Bratzler (Amerine et al., 1965).
Nilai daya putus Warner-Bratzler menunjukkan tingkat keempukan daging. Proses pelayuan akan menurunkan daya putus Warner-Bratzler, sehingga dapat meningkatkan keempukan daging. Pengaruh pelayuan dan peregangan otot terhadap daya putus Warner-Bratzler menjadi lebih besar setelah pemasakan (Bouton and Harris, 1972).
Papain, bromelin dari nanas dan fisin dari tanaman fig menghasilkan perubahan keempukan awal dan residu serabut-serabut jaringan ikat, sedangkan proteolitik fungal dan bacterial hanya mempengaruhi keempukan awal terhadap protein-protein serabut otot (Bratzler, 1971).
Hasil dan Pembahasan
Warna Daging
Daya Ikat Air Daging
Tabel Kadar Air Daging
Sampel Kadar air bebas Kadar air total
Luas area basah Mg H2O Kadar air bebas Berat sebelum dioven Berat setelah dioven Kadar air total % DIA
0,3 gr 18,5 cm2 187,15 62,38% 1,5 gr 0,7 gr 80% 17,62%
Sampel daging seberat 0,3 gram diletakkan diantara dua plt kaca, dialasi dengan kertas saring dan diberi beban 35 kg selama 5 menit. Luas area basah yang terbentuk adalah 18,5 cm2. Dengan menggunakan rumus, didapatkan mg H2O yaitu
Mg H2O = area basah (cm2) - 8,0
0,0948
= 18,5 - 8,0
0,0948
= 195,15 – 8,0
= 187,15
Kadar air bebas = mg H2O x 100%
300
= 187,15 x 100%
300
= 62,38%
KAT = x –y x 100%
1 gram
= 1,5-0,7 x 100%
1 gram
= 80%
% DIA = KAT – KAB
= 80%-62,38% = 17,62%
DIA daging dipengaruhi oleh faktor pH, pelayuan dan pemasakan atau pemanasan,yang menyebabkan perbedaan DIA diantara otot, misalnya spesies, umur dan fungsi otot, serta pakan, transportasi, temperatur, kelembaban, penyimpanan dan preservasi, jenis kelamin, kesehatan, perlakuan sebelum pemotongan dan lemak intramuskular. Perbedaan DIA disebabkan oleh perbedaan jumlah asam laktat yang dihasilkan, sehingga pH diantara dan di dalam otot berbeda.
pH Daging
Daging pada bagian LD seberat 10 gram dicacah kemudian ditambahkan 10ml aquades dan diaduk homogen. pH daging diukur dengan menggunakan pH meter dan dilakukan sebanyak tiga kali kemudian hasilnya dirata-rata. Dari percobaan diperoleh hasil pada pengukuran yang pertama didapatkan pH 5,90. Pengukuran yang kedua diperoleh 5,90 dan yang ketiga adalah 5,92. Dari ketiga hasil yang diperoleh dapat diambil rata-rata pH daging pada pengukuran ini adalah 5,91. Perbandingan data pengukuran pH daging pada kelompok lain yaitu pada pengukuran pertama diperoleh pH 5,92, kedua 5,92 dan yang ketiga 5,92 sehingga dapat diambil rata-rata 5,92. pH daging yang didapat adalah 5,91, hal ini berada pada kisaran normal pH daging. Menurut Bouton et al (1986) variasi pH ultimat secara merata dan teratur untuk otot LD, SM, BF, A, ST, PM, dan DP adalah 5,5 sampai 7,2.
Susut Masak Daging
Keempukan Daging
sampel keempukan
I II III rata-rata
11,6 8,1 21 19,6 16,23
Uji keempukan daging menggunakan sampel daging dari uji susut masak. Sampel dipotong searah serat dengan ukuran tebal 0,67 cm dan lebar 1,5 cm. Pengukuran sampel dilakukan dengan mengunakan jangka sorong. Sampel yang telah dipotong diletakkan pada alat Warner-Bratzler shear force untuk diuji tingkat keempukannya. Peletakan sampel pada alat Warner-Bratzler shear force harus tegak lurus dengan arah serat. Pengujian dilakukan terhadap beberapa sub sampel di tiga bagian yang berbeda kemudian hasilnya di rata-rata.
Pada pengujian terhadap sub sampel pertama skala yang terbaca adalah 8,1 kemudian pada pengujian kedua diperoleh skala 21, dan pada pengujian ketiga skala yang terbaca adalah 19,6. Dari ketiga pengujian yang dilakukan terdapat perbedaan yang mencolok antara pengujian pertama dengan dua pengujian selanjutnya. Hal ini disebabkan karena pada pengujian pertama letak sampel pada alat Warner-Bratzler shear force tidak tegak lurus dengan arah serat.
Angka yang terbaca pada alat Warner-Bratzler shear force merupakan nilai daya putus Warner-Bratzler (WB). Pada pengujian ini diperoleh hasil rata-rata nilai daya putus Warner-Bratzler (WB) 16,23. Sampel yang digunakan telah mengalami proses pemasakan sehingga mempengaruhi keempukannya. Pengaruh pelayuan dan peregangan otot terhadap daya putus Warner-Bratzler menjadi lebih besar setelah pemasakan (Bouton and Harris, 1972). Selain itu keempukan juga bervariasi di antara spesies, bangsa, ternak dalam spesies yang sama, potongan karkas, dan di antara otot, serta pada otot yang sama (Soeparno, 2005).
Kesimpulan
Setelah melakukan uji keempukan dengan alat Warner-Bratzler shear force diperoleh rata-rata nilai daya putus Warner-Bratzler (WB) adalah 16,23. Dari praktikum ini juga diketahui bahwa lama proses pemasakan akan mempengaruhi nilai daya putus Warner-Bratzler (WB).
Daftar Pustaka
Amerine, M.A., R.M. Pangborn, dan E.B. Roessler. 1965. Principles of Sensory Evaluation of Food. Academic Press. New York
Bouton, P.E., P.V. Harris, dan W.R. Shorthose. 1971. Jurnal of Food Science. Hal.435
Bouton, P.E., P.V. Harris and W.R. Shorthose. 1986. Factor Influencing Cooking Losses from Meat. J.Food Scl.
Bouton, P.E. dan P.V. Harris.1972. Jurnal of Food Science. Hal.140, 218.
Bratzler, L.J.1971. The Science of Meat and Meat Products 2nd Edition. W.H. Freeman and Co. San Fransisco
Lawrie, R. A. 1995. Ilmu Daging. Edisi ke-5. Terjemahan Aminudin Parakasi. UI press. Jakarta.
Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan ke-3. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging Cetakan Keempat. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Lampiran