Merenda Hidup Yang Biasa (Catatan Seorang Pekerja Pabrik)
Rabu, 04 Februari 2009
Rona jingga menyemburat di setengah langit bagian timur. Perlahan-lahan bola api merah bergerak naik, siap melaksanakan tugasnya. Aku mengayuh pedal sepedaku pelan-pelan, membelah bulak tengah sawah. Dua puluh kilometer akan kutempuh, menuju pabrik Batik Keris di Solo, tempat aku mengais rejeki setiap hari.
Gelap malam meliputi. Dingin sentuhan angin sawah menggigilkan kulit. Aku mengayuh sepedaku dengan kuat, berharap segera kucapai halaman rumah. Roda sepedaku sudah hapal dengan lobang dan gundukan di jalanan beraspal rusak, meski sesekali tetap terperosok atau terantuk.
Garang panas mentari menghujani. Masih tetap menyengat dan menyakitkan kulit sawomatangku yang makin gosong karena tiap hari bermandi matahari. Kukayuh pedalku kuat-kuat, untuk sejenak berteduh saat kudapat rimbun naungan pepohonan di pinggir jalan.
Yah, demikianlah kulalui hari-hariku. Menembus gelap malam, dingin pagi maupun terik di siang hari. Hari demi hari yang gamang. Entah ini sudah tahun ke berapa. Enam, tujuh? Delapan? Atau sudah belasan? Aku tak pernah menghitung lagi.
Dan dalam kehidupanku nyaris tak ada perubahan berarti. Antara pabrik dan rumah. Itu saja. Senin dan Selasa, berangkat ke pabrik pagi-pagi sehabis subuh. Pulang jam tiga sore. Istirahat sejenak, kemudian berbenah rumah. Rabu-Kamis berangkat jam satu siang, pulang tengah malam. Pagi sebelumnya kuisi dengan kegiatan memasak saaat simbok ke sawah, dan juga tidur sejenak. Pulang ke rumah sudah dalam kondisi capek luar biasa.
Di pabrik kami harus bekerja dengan posisi berdiri, nyaris tidak pernah duduk. Jum’at-Sabtu berangkat jam sepuluh malam pulang jam enam pagi. Langsung tidur sampai menejelang dzuhur. Begitu terus.
Semuanya sudah menjadi ritme yang terprogram. Sejujurnya aku bosan dengan kehidupanku yang demikian. Bahkan kadang kebosanan itu demikian memuncak. Tapi apa yang dapat kulakukan? Aku hanyalah seorang gadis lulusan SMEA kampung di selatan kota Solo, tetapi bekerja di pabrik dengan menggunakan ijazah SMP karena pabrik tidak membutuhkan buruh penjaga mesin pemintal benang berijazah setingkat SMU. Selain juga karena perusahaan tak suka membayar gaji dengan UMR lebih tinggi.
Tapi sungguh aku tak tahu apa yang mesti kulakukan untuk mengatasi kebosanan itu. Maka menonton televisi, berkunjung ke rumah saudara, bermain dan ngobrol dengan para ponakan adalah selingan yang kadang juga sama membosankannya. Sesekali aku jalan-jalan ke pertokoan di Coyudan atau ke pasar Klewer, Beteng, Pasar Gede atau Pasar Kartosuro jika punya uang.
Sebenarnya aku juga ingin seperti yang lainnya. Seperti teman-teman sekolah, juga tetanggaku, dan teman-teman pabrik yang rata-rata sudah punya 2-3 anak. Ya, mereka menikah dalam usia awal atau sebelum dua puluhan. Tapi, entahlah. Sampai usiaku yang menjelang tiga puluh tahun ini, belum ada seorang lelaki pun yang pernah melamarku.
Aku terlahir sebagai bungsu dari lima bersaudara yang seluruhnya adalah wanita. Mbakyu-mbakyuku semua telah menikah dan punya anak satu atau dua. Bapak meninggal saat aku kelas dua SMEA. Sebenarnya Bapak ingin aku menjadi pegawai kantoran. Tetapi dengan meninggalnya bapak, cita-cita itu tidak tersampaikan. Selepas SMEA aku tidak melanjutkan sekolahku melainkan langsung bekerja di pabrik konveksi, seperti umumnya gadis-gadis di kampungku. Bedanya mereka dengan segera mendapat pacar dan menikah, tetapi aku tidak.
Bisakah kau rasakan apa yang aku rasakan? Aku tidak punya impian apa-apa selain menikah dan membangun keluarga. Seperti para perempuan desa lainnya. Seperti kakak-kakakku. Tapi sekali lagi, aku tak mengerti mengapa jalan hidupku seperti ini. Sebenarnya bukan tak ada yang mau sama aku, namun semuanya berhenti di tengah jalan. Aku juga tidak tahu apa masalahnya dan salah siapa. Tiap kali aku menjalin hubungan selalu saja berakhir dan akhirnya kami putus begitu saja. Mungkin si laki-laki bosan atau bagaimana aku tidak tahu.
Menjadi perawan tua di kampung adalah aib yang menyesakkan. Menjadi gunjingan tetangga. Dibilang tidak laku dan sebagainya. Berbeda dengan perempuan kota. Aku sering sih mendengar, bahwa di kota-kota besar banyak perempuan yang tidak menikah sampai usia lebih dari tiga puluhan. Mungkin bagi mereka itu bukan apa-apa. Lagipula mereka memiliki pekerjaan yang bagus dan uang banyak.
Sedang aku? Aku bekerja di pabrik karena tidak ada pilihan pekerjaan lain sementara aku harus menbiayai hidupku dan Simbokku. Karena meskipun Simbok memiliki sepetak sawah peninggalan Bapak, namun penghasilannya tak memadai, bahkan kadang rugi jika ada serangan wereng atau tikus. Mbakyu-mbakyuku tidak dapat diharapkan karena mereka memiliki keluarga dan kehidupan mereka juga seadanya.
Yang lebih memedihkanku, entah darimana mulanya, kemudian berhembus gosip aku tidak menikah karena aku ‘demenan’ dengan salah satu kakak iparku. Duh, gusti paringana sabar! Tak jua menikah dalam usiaku yang sudah tak lagi muda sudah merupakan beban berat bagiku dan simbokku, kini harus pula menanggung omongan buruk tetangga. Kalau saja aku bisa menangis, aku ingin menangis keras-keras. Namun semua jeritan itu hanya dapat kugaungkan dalam hati. Sejak kecil aku jarang menangis karena Bapak melarangku untuk menangis.
Gosip itu bermula gara-gara akhir-akhir ini aku sering diantar kakak iparku yang baru punya motor. Tapi apa yang salah dengan semua itu? Bapak sudah meninggal. Simbok sudah tua dan mulai sakit-sakitan. Ponakan-ponakanku masih kecil-kecil Kakakku semuanya perempuan. Kepada siapa lagi akau minta tolong dan minta perlindungan jika bukan kepada mereka dan suami-suami mereka? Salahkah aku minta tolong diantar ke dokter kepada kakak iparku dengan motornya karena kebetulan aku sakit akhir-akhir ini dan mesti bolak-balik ke dokter? Salahkah aku minta diantar ke pabrik karena aku masih lemah dan cuaca kebetulan sedang buruk: sering hujan dan berangin? Sementara aku tidak bisa berlama-lama izin sakit karena pabrik akan memotong habis poinku? Tapi orang-orang tak melihat semua itu. Mereka tak mau tahu bahwa diluar itu aku masih tetap kemana-mana sendiri dengan sepeda ontelku.
Gosip itu bahkan makin kuat karena kemudian kakak iparku sering ke rumah. Padahal dia ke rumah karena -lagi-lagi kebetulan- membenahi rumah yang kutinggali bersama simbok. Suami dari Mbakyuku yang nomor dua ini adalah satu-satunya tukang batu di keluarga kami. Wajar tho kalau aku dan Simbok minta tolong dia membenahi rumah kami yang bocor disana-sini dan dindingnya pun mulai runtuh disana-sini? Karena saat ini sedang musim hujan hingga rumah kami sering kebanjiran?
Ingin rasanya aku berteriak pada semua orang, aku mau menikah dengan siapa saja saat ini juga jika itu akan dapat menghentikan omongan mereka. Namun, lagi-lagi, kenyataan seringkali lebih buruk dari apa yang kita pikirkan. Mbakyuku bahkan kemudian termakan oleh gossip itu dan mulai bersikap tak bersahabat denganku. Pun mbakyu-mbakyuku lainnya. Mereka memandangku dengan sikap curiga, seakan-akan aku akan mencuri suami mereka setiap saat.
Kalau bukan karena Simbok, aku ingin pergi jauh atau ditelan bumi saja sekalian. Tapi kemana aku mesti pergi? Sejak kecil aku tak pernah tinggal jauh dari tanah kelahiran dan dari keluargaku. Lagipula aku akan bekerja apa? Sedang pengalaman yang kupunya hanyalah bekerja sekian tahun di pabrik konveksi dengan tugas yang sama. Tak pernah berubah.
Hingga suatu hari, dalam semburat jingga mentari baru, aku menghentikan sepedaku di sebuah masjid pinggir jalan. Masjid ini setiap hari kulalui dalam perjalanan pulang pergiku ke pabrik. Hanya saja selama ini aku tak pernah tertarik untuk mampir. Hanya saja selama ini tubuh penatku tak pernah memberi kesempatan aku tertarik untuk menghadiri pengajian subuh seperti yang diselenggarakan pagi ini.
Tapi kali ini aku tak lagi memedulikan lelah dan kantuk yang mendera setelah bekerja shift malam. Aku hanya ingin mendapat sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang kuharapkan dapat meringankan beban jiwaku. Sesuatu yang akan menyirami perasaanku yang nyaris mati. Sesuatu yang akan membuat hidupku lebih berarti. Meski hanya arti bagi diriku sendiri. Bukan sekedar perawan tua, yang menjalani hidupnya dengan pulang pergi ke pabrik sambil menunggu seseorang datang melamarnya. Sesuatu yang mungkin akan membantuku keluar dari gossip tetangga, setidaknya membuatku lebih sabar menghadapi cercaan mereka. Kamu mau doakan aku kan?
Gelap malam meliputi. Dingin sentuhan angin sawah menggigilkan kulit. Aku mengayuh sepedaku dengan kuat, berharap segera kucapai halaman rumah. Roda sepedaku sudah hapal dengan lobang dan gundukan di jalanan beraspal rusak, meski sesekali tetap terperosok atau terantuk.
Garang panas mentari menghujani. Masih tetap menyengat dan menyakitkan kulit sawomatangku yang makin gosong karena tiap hari bermandi matahari. Kukayuh pedalku kuat-kuat, untuk sejenak berteduh saat kudapat rimbun naungan pepohonan di pinggir jalan.
Yah, demikianlah kulalui hari-hariku. Menembus gelap malam, dingin pagi maupun terik di siang hari. Hari demi hari yang gamang. Entah ini sudah tahun ke berapa. Enam, tujuh? Delapan? Atau sudah belasan? Aku tak pernah menghitung lagi.
Dan dalam kehidupanku nyaris tak ada perubahan berarti. Antara pabrik dan rumah. Itu saja. Senin dan Selasa, berangkat ke pabrik pagi-pagi sehabis subuh. Pulang jam tiga sore. Istirahat sejenak, kemudian berbenah rumah. Rabu-Kamis berangkat jam satu siang, pulang tengah malam. Pagi sebelumnya kuisi dengan kegiatan memasak saaat simbok ke sawah, dan juga tidur sejenak. Pulang ke rumah sudah dalam kondisi capek luar biasa.
Di pabrik kami harus bekerja dengan posisi berdiri, nyaris tidak pernah duduk. Jum’at-Sabtu berangkat jam sepuluh malam pulang jam enam pagi. Langsung tidur sampai menejelang dzuhur. Begitu terus.
Semuanya sudah menjadi ritme yang terprogram. Sejujurnya aku bosan dengan kehidupanku yang demikian. Bahkan kadang kebosanan itu demikian memuncak. Tapi apa yang dapat kulakukan? Aku hanyalah seorang gadis lulusan SMEA kampung di selatan kota Solo, tetapi bekerja di pabrik dengan menggunakan ijazah SMP karena pabrik tidak membutuhkan buruh penjaga mesin pemintal benang berijazah setingkat SMU. Selain juga karena perusahaan tak suka membayar gaji dengan UMR lebih tinggi.
Tapi sungguh aku tak tahu apa yang mesti kulakukan untuk mengatasi kebosanan itu. Maka menonton televisi, berkunjung ke rumah saudara, bermain dan ngobrol dengan para ponakan adalah selingan yang kadang juga sama membosankannya. Sesekali aku jalan-jalan ke pertokoan di Coyudan atau ke pasar Klewer, Beteng, Pasar Gede atau Pasar Kartosuro jika punya uang.
Sebenarnya aku juga ingin seperti yang lainnya. Seperti teman-teman sekolah, juga tetanggaku, dan teman-teman pabrik yang rata-rata sudah punya 2-3 anak. Ya, mereka menikah dalam usia awal atau sebelum dua puluhan. Tapi, entahlah. Sampai usiaku yang menjelang tiga puluh tahun ini, belum ada seorang lelaki pun yang pernah melamarku.
Aku terlahir sebagai bungsu dari lima bersaudara yang seluruhnya adalah wanita. Mbakyu-mbakyuku semua telah menikah dan punya anak satu atau dua. Bapak meninggal saat aku kelas dua SMEA. Sebenarnya Bapak ingin aku menjadi pegawai kantoran. Tetapi dengan meninggalnya bapak, cita-cita itu tidak tersampaikan. Selepas SMEA aku tidak melanjutkan sekolahku melainkan langsung bekerja di pabrik konveksi, seperti umumnya gadis-gadis di kampungku. Bedanya mereka dengan segera mendapat pacar dan menikah, tetapi aku tidak.
Bisakah kau rasakan apa yang aku rasakan? Aku tidak punya impian apa-apa selain menikah dan membangun keluarga. Seperti para perempuan desa lainnya. Seperti kakak-kakakku. Tapi sekali lagi, aku tak mengerti mengapa jalan hidupku seperti ini. Sebenarnya bukan tak ada yang mau sama aku, namun semuanya berhenti di tengah jalan. Aku juga tidak tahu apa masalahnya dan salah siapa. Tiap kali aku menjalin hubungan selalu saja berakhir dan akhirnya kami putus begitu saja. Mungkin si laki-laki bosan atau bagaimana aku tidak tahu.
Menjadi perawan tua di kampung adalah aib yang menyesakkan. Menjadi gunjingan tetangga. Dibilang tidak laku dan sebagainya. Berbeda dengan perempuan kota. Aku sering sih mendengar, bahwa di kota-kota besar banyak perempuan yang tidak menikah sampai usia lebih dari tiga puluhan. Mungkin bagi mereka itu bukan apa-apa. Lagipula mereka memiliki pekerjaan yang bagus dan uang banyak.
Sedang aku? Aku bekerja di pabrik karena tidak ada pilihan pekerjaan lain sementara aku harus menbiayai hidupku dan Simbokku. Karena meskipun Simbok memiliki sepetak sawah peninggalan Bapak, namun penghasilannya tak memadai, bahkan kadang rugi jika ada serangan wereng atau tikus. Mbakyu-mbakyuku tidak dapat diharapkan karena mereka memiliki keluarga dan kehidupan mereka juga seadanya.
Yang lebih memedihkanku, entah darimana mulanya, kemudian berhembus gosip aku tidak menikah karena aku ‘demenan’ dengan salah satu kakak iparku. Duh, gusti paringana sabar! Tak jua menikah dalam usiaku yang sudah tak lagi muda sudah merupakan beban berat bagiku dan simbokku, kini harus pula menanggung omongan buruk tetangga. Kalau saja aku bisa menangis, aku ingin menangis keras-keras. Namun semua jeritan itu hanya dapat kugaungkan dalam hati. Sejak kecil aku jarang menangis karena Bapak melarangku untuk menangis.
Gosip itu bermula gara-gara akhir-akhir ini aku sering diantar kakak iparku yang baru punya motor. Tapi apa yang salah dengan semua itu? Bapak sudah meninggal. Simbok sudah tua dan mulai sakit-sakitan. Ponakan-ponakanku masih kecil-kecil Kakakku semuanya perempuan. Kepada siapa lagi akau minta tolong dan minta perlindungan jika bukan kepada mereka dan suami-suami mereka? Salahkah aku minta tolong diantar ke dokter kepada kakak iparku dengan motornya karena kebetulan aku sakit akhir-akhir ini dan mesti bolak-balik ke dokter? Salahkah aku minta diantar ke pabrik karena aku masih lemah dan cuaca kebetulan sedang buruk: sering hujan dan berangin? Sementara aku tidak bisa berlama-lama izin sakit karena pabrik akan memotong habis poinku? Tapi orang-orang tak melihat semua itu. Mereka tak mau tahu bahwa diluar itu aku masih tetap kemana-mana sendiri dengan sepeda ontelku.
Gosip itu bahkan makin kuat karena kemudian kakak iparku sering ke rumah. Padahal dia ke rumah karena -lagi-lagi kebetulan- membenahi rumah yang kutinggali bersama simbok. Suami dari Mbakyuku yang nomor dua ini adalah satu-satunya tukang batu di keluarga kami. Wajar tho kalau aku dan Simbok minta tolong dia membenahi rumah kami yang bocor disana-sini dan dindingnya pun mulai runtuh disana-sini? Karena saat ini sedang musim hujan hingga rumah kami sering kebanjiran?
Ingin rasanya aku berteriak pada semua orang, aku mau menikah dengan siapa saja saat ini juga jika itu akan dapat menghentikan omongan mereka. Namun, lagi-lagi, kenyataan seringkali lebih buruk dari apa yang kita pikirkan. Mbakyuku bahkan kemudian termakan oleh gossip itu dan mulai bersikap tak bersahabat denganku. Pun mbakyu-mbakyuku lainnya. Mereka memandangku dengan sikap curiga, seakan-akan aku akan mencuri suami mereka setiap saat.
Kalau bukan karena Simbok, aku ingin pergi jauh atau ditelan bumi saja sekalian. Tapi kemana aku mesti pergi? Sejak kecil aku tak pernah tinggal jauh dari tanah kelahiran dan dari keluargaku. Lagipula aku akan bekerja apa? Sedang pengalaman yang kupunya hanyalah bekerja sekian tahun di pabrik konveksi dengan tugas yang sama. Tak pernah berubah.
Hingga suatu hari, dalam semburat jingga mentari baru, aku menghentikan sepedaku di sebuah masjid pinggir jalan. Masjid ini setiap hari kulalui dalam perjalanan pulang pergiku ke pabrik. Hanya saja selama ini aku tak pernah tertarik untuk mampir. Hanya saja selama ini tubuh penatku tak pernah memberi kesempatan aku tertarik untuk menghadiri pengajian subuh seperti yang diselenggarakan pagi ini.
Tapi kali ini aku tak lagi memedulikan lelah dan kantuk yang mendera setelah bekerja shift malam. Aku hanya ingin mendapat sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang kuharapkan dapat meringankan beban jiwaku. Sesuatu yang akan menyirami perasaanku yang nyaris mati. Sesuatu yang akan membuat hidupku lebih berarti. Meski hanya arti bagi diriku sendiri. Bukan sekedar perawan tua, yang menjalani hidupnya dengan pulang pergi ke pabrik sambil menunggu seseorang datang melamarnya. Sesuatu yang mungkin akan membantuku keluar dari gossip tetangga, setidaknya membuatku lebih sabar menghadapi cercaan mereka. Kamu mau doakan aku kan?